“Tiup lilinnya tiup lilinnya
tiup lilinnya sekarang juga sekarang juga sekarang juga”, bagian dari lagu
Selamat Ulang Tahun itu akhirnya dinyanyikan. Api yang tadi berkobar mungil
kini sudah lenyap diterpa tiupan angin lembut dari mulutku. Akhirnya hari ini
tiba. Aku semakin tua dengan umur 13 tahun.
“Pa, hadiahku mana?” tanyaku
spontan.
“Mau tahu? Habis ini kita akan
menjemput hadiahmu”, jawab papaku dengan logat Maduranya.
Aku sangat tidak sabar. Aku
berangan-angan tentang apa yang akan kudapat nanti. Apakah itu Boneka Barbie?
Sederetan baju-baju lucu? Atau kamera baru? Hatiku memainkan drum dengan cepat.
Dag dig dug membuatku tak memakan sepotong kue ulang tahun di piringku.
“Kakak, ayo sekarang tutup
matamu”, kata mamaku seraya menyodorkan sebuah kain hijau.
Kuambil kain itu dan
membelitkannya di kepalaku. Kain itu mampu menambah rasa dinginku malam itu.
Ketika aku hendak menaiki mobil Xenia berwarna hitam mengkilat, mamaku
menyuruhku menurunkan kain di kepalaku sehingga menutupi mataku. Kegelapan
menyelimuti perasaan bingungku.
Lagu ‘Believe’ dari salah satu
boyband Korea, U-Kiss, mengalun di
mobil itu. Dengan mata tertutup, aku menyanyikannya dengan bahasa yang sangat
jelas bahwa aku tidak hafal dan tidak mengerti liriknya. Aku mendengar papa dan
mamaku membicarakan sesuatu dan adikku sepertinya memainkan suatu permainan di
HP mamaku yang menghasilkan bunyi yang hampir mengalahkan lagu-lagu K-pop favoritku.
Aku merasakan perutku
keroncongan. Aku berharap, hadiahku adalah makan sepuasnya. Mungkin, aku bisa
makan 3 porsi sekaligus.
“Kak, ayo turun, sudah
nyampe”, ucap adikku ketika deru mobilku sudah tidak terdengar lagi. “Tapi
jangan dibuka dulu matanya”, tambahnya.
Aku menuruni mobil dengan
hati-hati, takut kalau aku terjatuh. Setelah aku menapakkan kedua kakiku dengan
mantap dan menutup pintu mobil, adikku menuntunku ke depan sebuah pintu dan
membuka penutupku.
Luar biasa! Aku hampir tak
menyangka ini. Jejeran sepeda kayuh berwarna-warni memenuhi ruangan itu.
Roda-roda hitam terpasang rapi di sepeda-sepeda itu. Ternyata papaku dan mamaku
ingin memberikanku sebuah sepeda sebagai hadiahku. Mereka tidak main-main
ketika beberapa hari sebelumnya menyuruhku berolahraga.
Ketika disuruh memilih, aku
bingung karena banyak sekali yang menggoda mataku. Namun, aku langsung menyukai
sebuah sepeda berwarna abu-abu dengan garis-garis merah dan terdapat tulisan
‘HEIST’ di sepeda itu. Lalu, salesman yang
melayani kami menyiapkan sepeda itu untuk kami bawa pulang. Aku sungguh
tidak sabar untuk memakainya.
Kring...kring... alarm Hpku
berbunyi sangat kencang. Aku memang sengaja mengaturnya agar membangunkanku
pagi-pagi walaupun di hari Minggu. Setelah aku ganti baju dengan cepat, aku
mengeluarkan sepedaku dari dalam rumah. Aku menaikinya dan mempersiapkan
mentalku. Kaki kananku mulai memutar pedal berwarna hitam dengan lapisan oranye
di pinggirnya. Dengan mantap kukendalikan sepeda abu-abu dengan memegang kedua
setir yang juga berwarna hitam.
Keringat tak terasa sudah
membasahi sekujur tubuhku. Sudah sekian lama aku tak bersepeda. Karena senang,
aku tak merasakan capek menyelimutiku, hanya nafas yang terengah-engah yang
melewati senyum lebar di wajahku. Kalau seperti ini, ingin sekali aku membawa
sepeda abu-abu itu ke sekolahku tercinta. Ah, apa mungkin bisa? Aku takut kalau
tidak bisa melalui jalan raya dan akhirnya jatuh. Hah...tapi aku ingin sekali.
Tak tanggung-tanggung, aku
langsung menanyakan pada mamaku. Sempat terjadi beberapa argumen yang menahanku
membawa sepeda. Namun, ternyata papaku membolehkanku! Senang rasanya. Aku tak
sabar untuk mengendarai sepeda ke jalan raya untuk pertama kalinya.
Huhh... Jum’at memang hari
yang selalu kutunggu-tunggu. Entah kenapa hari ini melebihi hari Jum’at
biasanya. Matahari menyambut hari itu dengan riang. Burung-burung terdengar
menyanyikan sebuah lagu gembira. Mereka mengiringiku mengayuh sebuah sepeda
berwarna abu-abu cerah. Pertama, aku berkeliling di sekitar perumahan. Segar
sekali angin semilir yang mengibaskan rambut hitamku.
Kulihat jam berwarna hitam
yang melingkari tangan kiriku. Jarum panajangnya menunjukkan angka 9 dan jarum
pendeknya berada di antara 5 dan 6. Sudah saatnya aku berangkat ke sekolah.
Dengan tas punggung berwarna hitam berhias garis-garis merah yang tergantung di
punggungku, aku dengan semangat mengayuh hadiahku setelah berpamitan dengan
mamaku. Hatiku dag dig dug ketika melewati gapura perumahanku. Untung saja
masih pagi dan tentunya jalan raya masih sepi. Kalau seperti ini aku merasa
aman-aman saja mengendarai hadiah spesial itu. Semakin lama aku mengayuh
semakin kakiku sakit terutama punggungku. Tinggal beberapa meter dari
sekolahku, aku sudah mendengar nafasku yang tersengal-sengal tak karuan.
Bulir-bulir keringat seperti membanjiri wajahku. Namun, seulas senyum tak
kunjung lepas dari wajahku.
Waktu bergulir begitu cepat.
Sudah saatnya pulang. Aku segera berlari menuju tempat parkir. Di situlah
sepedaku berada dengan sebaris sepeda motor milik guru-guruku. Aku mengeluarkan
sepedaku dari tempat yang dikelilingi sepeda-sepeda motor melalu sebuah pintu
kecil. Aku sebenarmya agak merasa malu karena banyak temanku yang melihatku
membawa sepeda. Tapi, aku mencoba tidak menghiraukannya.
Perjalanan pulang pertamaku
sangat mendebarkan, berharap agar tidak jatuh ketika melewati jalan turun. Pada
awalnya, aku sudah dengan lancar melalui jalan sekolah, namun aku mendapatkan
firasat buruk. Benar saja! Ketika hendak berbelok ke kiri, pikiranku dikacaukan
oleh siswa-siswa dari sekolah lain. Tentu saja aku merasa malu dan akhirnya
tidak memperhatikan jalan di depan.
Setirku mulai tidak
terkendali. Roda-rodaku mulai berputar tak keruan. Dan, akhirnya ‘DUAK!’ suara
sepeda yang menabrak tiang besi di sebelah trotoar yang hendak kulewati.
Sekejap aku terhempas ke tanah berdebu. Dapat kurasakan tangan dan kakiku
sangat nyeri. Kulihat jaket merah muda yang tengah kukenakan kotor karena
ternodai oleh tanah berwarna cokelat. Kuraba kakiku yang penuh dengan debu dan
kulihat ciaran merah menyala yang keluar dari lutut kiriku, perih rasanya.
Namun, segera kuraih gagang setirku dan memberdirikan sepedaku yang tergeletak
tak berdaya. Dengan segala rasa malu yang disertai dada yang berdegup kencang
dan tangan yang bergetar aku mengayuh sepedaku dengan lebih waspada melewati
trotoar yang kala itu dipadati oleh siswa-siswa dari sekolah lain. Untung saja
rumahku tak jauh dari tempatku terjatuh.
Tak sampai lima menit, aku
sudah sampai rumahku tercinta. Lega sekali rasanya. Adikku yang membukakan
pintu terkejut melihat penampilanku yang sangat kacau. Rambutku sangat
berantakan. Namun, lebih terkejutnya lagi ketika ia melihat darah mengalir dari
kaki kiriku.
Aku langsung menggeletakkan
tubuhku setelah melepaskan sepatu hitamku. Perih tak terhingga yang kurasakan
saat itu. Adikku segera mengambilkanku segelas air putih untuk menenangkanku
yang terengah-engah. Dia juga sangat baik ketika mengoleskan minyak tawon di
lututku setelah aku mencuci kaki dan tanganku. Beruntung aku memiliki adik
sepertinya.
Beberapa hari telah berlalu.
Luka di kaki kiriku sudah mengering. Namun, sepertinya luka itu akan berbekas,
tak seperti dulu ketika aku masih kecil. Aku mengelus lukaku. Merenung.
Ternyata hadiahku yang paling spesial itu dapat memberikanku hadiah yang tidak
akan pernah kulupakan itu. Lucu juga kalau diingat.
SELESAI