Rabu, 30 Oktober 2013

Puisi (Musikalisasi puisi)

Selamat Ulang Tahun tuk Papa
Oleh: Hana Ardina Putri Pakiding

Adil kuasa Sang Pencipta
Tlah beri kita kehidupan
Beri kita keluarga
Tuk bagi kebahagiaan

Hari demi hari berlalu
Sang waktu sudah tak mampu
Tak mampu tuk mencegah
Cegah tuanya manusia

Hari ini kuucapkan
Selamat Ulang Tahun Papa
Hari ini peringati hari lahirmu
Satu angka menambah umurmu

Helai-helai yang memutih
Kuharap tak menghadang semangatmu
Namun membakar tekadmu
Menemani kesehatan yang Ia beri

Dari anakmu...
Kupersembahkan sebuah lagu
Lagu sederhana tuk papa

Selamat ulang tahun papa

Selasa, 24 September 2013

Hadiah dari Hadiah


“Tiup lilinnya tiup lilinnya tiup lilinnya sekarang juga sekarang juga sekarang juga”, bagian dari lagu Selamat Ulang Tahun itu akhirnya dinyanyikan. Api yang tadi berkobar mungil kini sudah lenyap diterpa tiupan angin lembut dari mulutku. Akhirnya hari ini tiba. Aku semakin tua dengan umur 13 tahun.
“Pa, hadiahku mana?” tanyaku spontan.
“Mau tahu? Habis ini kita akan menjemput hadiahmu”, jawab papaku dengan logat Maduranya.
Aku sangat tidak sabar. Aku berangan-angan tentang apa yang akan kudapat nanti. Apakah itu Boneka Barbie? Sederetan baju-baju lucu? Atau kamera baru? Hatiku memainkan drum dengan cepat. Dag dig dug membuatku tak memakan sepotong kue ulang tahun di piringku.
“Kakak, ayo sekarang tutup matamu”, kata mamaku seraya menyodorkan sebuah kain hijau.
Kuambil kain itu dan membelitkannya di kepalaku. Kain itu mampu menambah rasa dinginku malam itu. Ketika aku hendak menaiki mobil Xenia berwarna hitam mengkilat, mamaku menyuruhku menurunkan kain di kepalaku sehingga menutupi mataku. Kegelapan menyelimuti perasaan bingungku.
Lagu ‘Believe’ dari salah satu boyband Korea, U-Kiss, mengalun di mobil itu. Dengan mata tertutup, aku menyanyikannya dengan bahasa yang sangat jelas bahwa aku tidak hafal dan tidak mengerti liriknya. Aku mendengar papa dan mamaku membicarakan sesuatu dan adikku sepertinya memainkan suatu permainan di HP mamaku yang menghasilkan bunyi yang hampir mengalahkan lagu-lagu K-pop­ favoritku.
Aku merasakan perutku keroncongan. Aku berharap, hadiahku adalah makan sepuasnya. Mungkin, aku bisa makan 3 porsi sekaligus.
“Kak, ayo turun, sudah nyampe”, ucap adikku ketika deru mobilku sudah tidak terdengar lagi. “Tapi jangan dibuka dulu matanya”, tambahnya.
Aku menuruni mobil dengan hati-hati, takut kalau aku terjatuh. Setelah aku menapakkan kedua kakiku dengan mantap dan menutup pintu mobil, adikku menuntunku ke depan sebuah pintu dan membuka penutupku.
Luar biasa! Aku hampir tak menyangka ini. Jejeran sepeda kayuh berwarna-warni memenuhi ruangan itu. Roda-roda hitam terpasang rapi di sepeda-sepeda itu. Ternyata papaku dan mamaku ingin memberikanku sebuah sepeda sebagai hadiahku. Mereka tidak main-main ketika beberapa hari sebelumnya menyuruhku berolahraga.
Ketika disuruh memilih, aku bingung karena banyak sekali yang menggoda mataku. Namun, aku langsung menyukai sebuah sepeda berwarna abu-abu dengan garis-garis merah dan terdapat tulisan ‘HEIST’ di sepeda itu. Lalu, salesman yang  melayani kami menyiapkan sepeda itu untuk kami bawa pulang. Aku sungguh tidak sabar untuk memakainya.


Kring...kring... alarm Hpku berbunyi sangat kencang. Aku memang sengaja mengaturnya agar membangunkanku pagi-pagi walaupun di hari Minggu. Setelah aku ganti baju dengan cepat, aku mengeluarkan sepedaku dari dalam rumah. Aku menaikinya dan mempersiapkan mentalku. Kaki kananku mulai memutar pedal berwarna hitam dengan lapisan oranye di pinggirnya. Dengan mantap kukendalikan sepeda abu-abu dengan memegang kedua setir yang juga berwarna hitam.
Keringat tak terasa sudah membasahi sekujur tubuhku. Sudah sekian lama aku tak bersepeda. Karena senang, aku tak merasakan capek menyelimutiku, hanya nafas yang terengah-engah yang melewati senyum lebar di wajahku. Kalau seperti ini, ingin sekali aku membawa sepeda abu-abu itu ke sekolahku tercinta. Ah, apa mungkin bisa? Aku takut kalau tidak bisa melalui jalan raya dan akhirnya jatuh. Hah...tapi aku ingin sekali.
Tak tanggung-tanggung, aku langsung menanyakan pada mamaku. Sempat terjadi beberapa argumen yang menahanku membawa sepeda. Namun, ternyata papaku membolehkanku! Senang rasanya. Aku tak sabar untuk mengendarai sepeda ke jalan raya untuk pertama kalinya.

Huhh... Jum’at memang hari yang selalu kutunggu-tunggu. Entah kenapa hari ini melebihi hari Jum’at biasanya. Matahari menyambut hari itu dengan riang. Burung-burung terdengar menyanyikan sebuah lagu gembira. Mereka mengiringiku mengayuh sebuah sepeda berwarna abu-abu cerah. Pertama, aku berkeliling di sekitar perumahan. Segar sekali angin semilir yang mengibaskan rambut hitamku.
Kulihat jam berwarna hitam yang melingkari tangan kiriku. Jarum panajangnya menunjukkan angka 9 dan jarum pendeknya berada di antara 5 dan 6. Sudah saatnya aku berangkat ke sekolah. Dengan tas punggung berwarna hitam berhias garis-garis merah yang tergantung di punggungku, aku dengan semangat mengayuh hadiahku setelah berpamitan dengan mamaku. Hatiku dag dig dug ketika melewati gapura perumahanku. Untung saja masih pagi dan tentunya jalan raya masih sepi. Kalau seperti ini aku merasa aman-aman saja mengendarai hadiah spesial itu. Semakin lama aku mengayuh semakin kakiku sakit terutama punggungku. Tinggal beberapa meter dari sekolahku, aku sudah mendengar nafasku yang tersengal-sengal tak karuan. Bulir-bulir keringat seperti membanjiri wajahku. Namun, seulas senyum tak kunjung lepas dari wajahku.
Waktu bergulir begitu cepat. Sudah saatnya pulang. Aku segera berlari menuju tempat parkir. Di situlah sepedaku berada dengan sebaris sepeda motor milik guru-guruku. Aku mengeluarkan sepedaku dari tempat yang dikelilingi sepeda-sepeda motor melalu sebuah pintu kecil. Aku sebenarmya agak merasa malu karena banyak temanku yang melihatku membawa sepeda. Tapi, aku mencoba tidak menghiraukannya.
Perjalanan pulang pertamaku sangat mendebarkan, berharap agar tidak jatuh ketika melewati jalan turun. Pada awalnya, aku sudah dengan lancar melalui jalan sekolah, namun aku mendapatkan firasat buruk. Benar saja! Ketika hendak berbelok ke kiri, pikiranku dikacaukan oleh siswa-siswa dari sekolah lain. Tentu saja aku merasa malu dan akhirnya tidak memperhatikan jalan di depan.
Setirku mulai tidak terkendali. Roda-rodaku mulai berputar tak keruan. Dan, akhirnya ‘DUAK!’ suara sepeda yang menabrak tiang besi di sebelah trotoar yang hendak kulewati. Sekejap aku terhempas ke tanah berdebu. Dapat kurasakan tangan dan kakiku sangat nyeri. Kulihat jaket merah muda yang tengah kukenakan kotor karena ternodai oleh tanah berwarna cokelat. Kuraba kakiku yang penuh dengan debu dan kulihat ciaran merah menyala yang keluar dari lutut kiriku, perih rasanya. Namun, segera kuraih gagang setirku dan memberdirikan sepedaku yang tergeletak tak berdaya. Dengan segala rasa malu yang disertai dada yang berdegup kencang dan tangan yang bergetar aku mengayuh sepedaku dengan lebih waspada melewati trotoar yang kala itu dipadati oleh siswa-siswa dari sekolah lain. Untung saja rumahku tak jauh dari tempatku terjatuh.
Tak sampai lima menit, aku sudah sampai rumahku tercinta. Lega sekali rasanya. Adikku yang membukakan pintu terkejut melihat penampilanku yang sangat kacau. Rambutku sangat berantakan. Namun, lebih terkejutnya lagi ketika ia melihat darah mengalir dari kaki kiriku.
Aku langsung menggeletakkan tubuhku setelah melepaskan sepatu hitamku. Perih tak terhingga yang kurasakan saat itu. Adikku segera mengambilkanku segelas air putih untuk menenangkanku yang terengah-engah. Dia juga sangat baik ketika mengoleskan minyak tawon di lututku setelah aku mencuci kaki dan tanganku. Beruntung aku memiliki adik sepertinya.
Beberapa hari telah berlalu. Luka di kaki kiriku sudah mengering. Namun, sepertinya luka itu akan berbekas, tak seperti dulu ketika aku masih kecil. Aku mengelus lukaku. Merenung. Ternyata hadiahku yang paling spesial itu dapat memberikanku hadiah yang tidak akan pernah kulupakan itu. Lucu juga kalau diingat.


SELESAI




Selasa, 17 September 2013

Puisi Berantai Pramuka

Kawan, pernahkah kita berfikir
Kalau Hidup itu Cuma sekali
Tak ada yang abadi

 Malam ini, kita berpesta
Merayakan hari-hari setelah ujian akhir
 waktu terus bergulir
Sekian tahun benar-benar tidak terasa

Api unggun ini menghangatkan suasana
Dingin di luar sana
Tidak sebanding dengan kemesraan kita di sini
Sungguh menyenangkan pramuka di bumi pertiwi ini

Tadi pagi kita sudah berkumpul kembali
Bersiap akan adanya petualangan hebat tlah menanti
Sengatan mentari menjadi pemimpin
Dan tetesan hujan menjadi bukti

Kotor, capek, panas, sakit
Itu yang kita rasakan seharian ini
Tantangan demi tantangan tlah kita hadapi
Bersama dengan anggota regu

 Sesungguhnya kita harus melihat, mencium, mendengar
Saudara-saudara kita di luar sana
Kebahagiaan yang sangat segar
Tidak bisa mereka terima

Indonesia memang luar biasa
Kaya akan alamnya
Kaya akan budayanya
Kaya akan pramukanya

Sering kita mengeluhkan
Kakak pembina yang jahat
Bawaan yang berat
Tantang yang sangat susah tuk dilakukan

Lihatlah kawan....
Saudara-saudara kita banyak yang masih berperang
Menghadapi kemiskinan, kesehatan, pendidikan
Sungguh menyedihkan

Sekarang kita tak butuh kata ‘menyerah’
Kita mengobarkan api kesemangatan
Besok kita adalah tantangan
Besok adalah pengharapan

Bersama kita pasti bisa!
Bersyukurlah kita masih bisa!
Pramuka Indonesia,

Tetap jaya!